Posts

Saling

Image
Saling Adalah sebuah timbal balik dalam sebuah relasi, tentunya. Adalah saling mengambil, pun saling memberi. Adalah saling menjalin dan saling menerima. Saling. Saling bahagia dan juga saling menderita. Saling.     Apa kau sekarang mengerti bagaimana susahnya menerima yang seharusnya kau hindari? Apa kau sekarang mengerti bagaimana sesosok ‘ia’ adalah sesuatu yang berharga? Masih banyak pertanyaan berkelebat. Masih banyak ‘Apa’ yang lain. Asal kau tahu sekarang ini, tak ada maksud lain selain menjalin hubungan yang baik denganmu. Sebatas antar teman, antar rekan, ataupun antar saudara. Tak lebih. Tapi, prespektifku berkata lain. Aku berasumsi. Lagi dan lagi. Asumsi, asumsi, dan asumsi. Kau kira aku selalu sama dengan aku-aku yang lalu. Sama dengan aku-aku yang dulu. Tapi tidak. Maka jangan seperti kau tahu segalanya tentangku. Meski kau berkata kau punya kemampuan mengenali orang dengan baik. Tapi kau tak selalu sepenuhnya benar tentangku. Adalah sebuah timbal ba...

Gerimis Bulan Oktober

Image
Denting di sudut kamar   ini semakin memanduku menyelami berlembar-lembar skrip drama untuk pentas seni daerah besok lusa. Menyelami tapi tak memahami. Tak ada satu dialog pun yang berhasil direkam oleh otakku. Anganku melayang. Sedang jiwaku tak ada disini. Ruangan ini berhasil kusulap menjadi ruang hampa. Aku pasrah. Skrip itu kulempar begitu saja ke lantai kamarku. Aku bersandar ke kaki ranjang. Kemudian termenung menghadap arah luar jendela. Angin melambai-lambai. Semakin waktu berlalu, angin pun semakin kencang. Memeluk kuat hingga dingin menusuk tulang. Nampaknya hujan akan segera turun. Membasahi dataran yang sudah keronta beberapa bulan ini. Juga membasahi sudut-sudut ruang hatiku. Ah, sudah lama hujan tak turun. Nampaknya, aku merindui rintik-rintik air langit itu. Akhirnya kumulunimbus pun pecah. Memuntahkan beberapa volume air langit. Sepertinya hujan rintik. Gerimis. Ah, gerimis.             Gerimis Bulan Ok...

Tentang Kamu

Masih ada rasa yang tertinggal. Matanya tak bisa berkhianat, walaupun ia dingin sedingin kristal, tapi matanya masih tetap hangat. Sehangat belaian rindunya tempo hari. Mata. Iya, mata. Sumber dari segala rasa. Kau, apa kabar? Aku tak pernah menganggap sesuatu di antara kita selesai. Kupikir tak pernah selesai. Kau dengan pandainya menggantung rasamu. Sedang aku? Rasa itu terseret-seret. Berserakan. Kau tahu, dengan gigih aku berusaha membunuh setiap butiran rasa yang mencuat. Menikam mereka setiap kali menganga. Tapi satu hal, sakit. Apa sesakit ini? Apakah sesakit ini terkahir kali kau berusaha menikam rasa rasa itu? Bagaimana rasa sakitnya ketika kau menyadari kehadiranku, tapi kau menihilkanku? Bagaimana rasanya menahan segudang keinginanmu untuk menyapaku? Ah, sakit sekali. Tak sanggup kulukiskan bait bait elegi itu ataupun bait yang lain. Penerimaanku atas hadirmu di depan pintuku tak pernah sederhana. Namun, dengan tulus kau ajarkan bagaimana sebuah penerimaan itu. Kemudian ak...

Rindu Itu

Image
Kenapa rindu selalu terhubung dengan sepi dan rasa sakit? Oh, aku belum berdamai dengan hatiku. Tidak. Sekarang pun di tengah keramaian ini terasa begitu sepi. Harusnya wajah ini terlukis lengkungan halus yang mengembang. Desir angin pun harusnya terasa seperti semilir menyejukkan. Harusnya nada-nada itu menari riang. Tapi tidak. Ketika melihat wajahnya menjadi sesak tak tertahan. Kalut tak karuan. Sakit, entah sakit di sebelah mana. Hanya tak menentu, begitu saja. Bagaimana semua hanya begitu saja? Rindu itu mengakar terlampau kuat. Dimana akal sehat? Merasa diri sediri seperti gila? Ah, tidak lucu. Nampaknya aku sangat tak tertarik dengan canda tawa. Ketika melihat wajahnya seperti nada nada berhenti mengalun. Semilir angin tak lagi seperti semilir. Tapi membelit hingga melilit. Hati ini terlilit. Hebat dia, si angin kerinduan.  Diri ini payah. Aku payah. Lagi-lagi diri ini tersesat. Goyah beberapa saat. Oh, bukan! Bahkan hingga detik ini. Hingga saat ini. Ketika...

I Hear Your Voice (2)

“La, jangan diulangi lagi. Tidak seterusnya kau menjadi orang yang kuat. Tak ada salahnya sekali kau menjadi orang yang lemah. Kau juga butuh orang lain, La.” Nasihat dari Pras menutup pertemuan ku dengannya di suatu waktu. Sekali lagi, Pras seperti bunda saja. Apa yang salah dengan caraku hidup? Asal Pras tahu, aku adalah orang yang paling lemah di antara orang yang ia temui. Semua yang ada di luarku hanyalah tabir. Oh, aku begitu jujur. Mungkin itu alasan Pras peduli padaku akhir-akhir ini. Tapi aku tak pernah suka menjadi lemah. Bagaimana mungkin aku berburuk sangka pada Pras. Atau mungkin Pras.. Ah, sudahlah. Seorang gadis memang pandai berasumsi. Pagi ini Pras berjanji mengantarku ke pusara bunda. Pras menjadi salah satu dari sedikit orang yang tahu kalau bunda sudah pergi. Namun, setelah dua jam menunggu Pras tak kunjung terlihat ataupun deru knalpot motor Pras juga tak terdengar. Oh, mungkin Pras lupa, atau ia tertidur, atau ia sengaja melupakanku. Wahai, Pras juga manusia...

I Hear Your Voice

Berasa ngga asing sama judulnya? Iseng aja akunya ngambil dari salh satu judul drama korea yang diperanin sama si aktor terkenal Lee Jong Suk yang sekarang lagi sibuk syuting drama terbarunya 'W' duh, update banget yaa.. eh eh kok jadi ke Jong Suk sih, nih nih itu judul buat apa? Karena kuberhasil selesaikan satu cerpern-duh sampe typo- (cerpen) yang pasti karena inspirasi. Kepoin terus inspirasi inspirasi di kotak ini :) emmm..yang satu ini inspirasi dari seseorang yang suka datang dan pergi beberapa saat menetap di hati yang kemudian memberi arti-eh eh apalagi deh- yang pasti kisah ini datang dari seseorang yang menginspirasi. Siiiaaat tokoh, latar, kejadian dalam cerpen disini hanyalah fiktif belaka :D Happy Enjoying :) Semburat merah di langit sudah menyembunyikan sang bintang terbesar. Menyisakan kehangatan-sisa-sisa panas dari cahaya matahari-seharian ini. Peluh sudah mulai berhenti meluruh. Tak lagi seperti tadi siang, ketika keringat menetes deras di setiap langkah...

Senandung Elegi

Sakit! Tatkala daku tahu Dikau bak siang ditelan malam Oh, bukan bukan Dikau entah dimana, menghilang tanpa bekas Oh, bukan bukan Nampaknya luka itu membekas Oh, bukan bukan Entah luka atau apa Yang pasti namamu terukir jelas Ah senandung elegi itu memuakkan Membuat diri semakin nista Dikau hilang ditelan gerhana Oh, bukan bukan Dikau hilang bersama senja Menyisakan kehangatan yang menyiksa Nista nista Hanya caci maki diri tersisa Bergelut dengan sajak syair elegi Tak lain tak bukan Luka itu menganga yang kemudian disiram cuka Kata kata tiada makna, hampa Ah, apa daya Mungkin tak ada lagi sudi untuk berlabuh Atau sudah tak ada lagi tambatan untuk jangkarmu Ah, sudahlah Kisah ini nista  Tapi tak ada sedikit pun dusta Beginilah daku dengan segala kenistaanku Tak pernah bisa sempurna Tanpa ada indah rangkaian kata Oh, bukan bukan Rangkaian kata itu indah Tapi apa? Hampa! Dikau tak lagi ada acuh Karena semua bersisa peluh...