Saling

Saling

Adalah sebuah timbal balik dalam sebuah relasi, tentunya. Adalah saling mengambil, pun saling memberi. Adalah saling menjalin dan saling menerima. Saling. Saling bahagia dan juga saling menderita. Saling.

    Apa kau sekarang mengerti bagaimana susahnya menerima yang seharusnya kau hindari? Apa kau sekarang mengerti bagaimana sesosok ‘ia’ adalah sesuatu yang berharga? Masih banyak pertanyaan berkelebat. Masih banyak ‘Apa’ yang lain. Asal kau tahu sekarang ini, tak ada maksud lain selain menjalin hubungan yang baik denganmu. Sebatas antar teman, antar rekan, ataupun antar saudara. Tak lebih. Tapi, prespektifku berkata lain. Aku berasumsi. Lagi dan lagi. Asumsi, asumsi, dan asumsi. Kau kira aku selalu sama dengan aku-aku yang lalu. Sama dengan aku-aku yang dulu. Tapi tidak. Maka jangan seperti kau tahu segalanya tentangku. Meski kau berkata kau punya kemampuan mengenali orang dengan baik. Tapi kau tak selalu sepenuhnya benar tentangku. Adalah sebuah timbal balik dalam menjalin sebuah relasi, maka aku senang jika pada akhirnya kau merasa berat. Kau merasa susah. Kau merasakan susahnya menerima yang seharusnya kau hindari. Bagaimana? Begitu rumit? Iya, demikian. Kau hanya tiba-tiba menjadi orang bodoh, dan terkadang merasa menang. Padahal, kau ataupun aku dulu ada pada kondisi dimana kebimbangan merasuk seluruh jiwa.

     Mungkin aku jahat sekarang ini. Karena aku berharap kau merasa sakit yang sama. Karena aku juga berharap kau menghadapi bahtera kebimbangan yang serupa. Serupa denganku dulu. Mungkin kau tak pernah tahu bagaimana banyak hal tercampur aduk di kepalaku kala itu. Karena kau masuk begitu saja. Kau masuk tanpa permisi. Kemudian dengan lihai kau mngajariku sebuah penerimaan. Kendati pun tak pernah menjadi sederhana bagiku. Sekarang, kuharap kau merasa yang sama. Aku munafik, memang. Aku jahat, memang. Aku pendendam, memang. Apa lagi? Begitu banyak kenistaan padaku. Sampulku ataupun sampulmu serupa. Kita pada kapal yang sama. Layar yang sama, nahkoda yang sama. Mungkin visi kita sama. Namun, posisi kita berbeda. Jika kau ada di ujung layar, maka aku di dasar dek kapal. Betapa malangnya diriku, bukan?

     Hey, kita tak pernah sama. Aku dengan prinsipku, kau dengan prinsipmu. Oh, betapa bodohnya aku. Aku tahu kau lebih naif dari diriku yang sangat naif. Kau lebih munafik dari diriku yang sangat munafik. Tapi aku bodoh. Dengan lihainya sihirmu, membuka perlahan lembaran-lembaran hidupku. Sekali lagi, aku bodoh. Pada akhirnya penerimaan itu menjadi sebuah penyesalan.

  Kemudian sekarang, betapa dendamku membara. Membalaskan kebodohan-kebodohanku yang dulu. Membalaskan pahit dan sakit pada lembaran-lembaran itu. Hei, jika penaku berubah jadi pisau sekarang ini, mungkin sudah terhunus ke setiap sudut hatimu. Betapa geram diri ini, sudah. Amarah yang ada, yang menyelimuti gemuruh perasaanku padamu. Kau tak lebih seorang tupai yang licik dan pengecut. Oh, apakah aku terlalu jauh? Karena aku jahat, aku tak menganggap aku terlalu jauh. Mungkin itu cukup untuk membalaskan semuanya. Bahkan itu semua mungkin tak cukup.
Kau memanggilku ketika kau membutuhkanku. Kau tak menganggapku jika tak ada lagi butuhmu. Habis manis sepah dibuang, iya. Begitukah? Hanya asumsi. Sekali lagi asumsi. Mungkin aku salah, karena aku tak pernah tahu siapa dirimu. Tapi aku ingin asumsiku benar. Jadi, benarkan saja.

     Nyatanya, belum kudapati kata saling diantara kita. Tak ada saling memberi, tak ada saling menerima. Tapi ada saling yang sangat ingin terwujud bagiku sekarang ini. Adalah hubungan timbal balik yang kuharap ada. Saling yang harus terjalin. Saling menyakiti. Mari kita saling menyakiti. Kemudian pergi. Aku dengan rasa sakitku, kau dengan rasa sakitmu.
Kemudian selesai, walaupun aku tahu dan sadar hal ini tak akan pernah selesai begitu saja. Tak akan selesai tanpa penyelesaian yang baik dan penerimaan yang tulus.


     Ternyata kemudian aku tersadar. Hei, kau dan aku tak sepenuhnya salah disini. Hanya saja kita sama-sama naif. Sama-sama munafik. Bagiamana jika biarkan saja yang lalu berlalu? Jalan masih panjang. Matahari masih bersinar setiap lembaran pagi dibuka. Bintang masih gemerlap di hamparan gelap langit malam. Dan nikmat Tuhan masih dan akan selalu berlimpah untuk hamba-Nya. Semoga masih ada saling diantara kita. Saling menerima dengan sebaik penerimaan dan saling memaafkan dengan tulus. Kemudian saling berjalan di jalan masing-masing dengan semangat yang selalu kita usung bersama. Tak ada yang salah jika demikian bukan?

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Kamu

Ilmu di Setiap Langkah Kaki

Senandung Elegi