Bicara Kehidupan #Tentang Memberi


Bonus Pic : Taken in Johor, Malaysia. Selalu ada makna tersendiri dari setiap gambar.

Memberi bukanlah menawarkan pemberian

So, ada satu hal penting tentang memberi yang sangat kuingat hingga kini. Memberi bukan menawarkan. Itu berasal dari salah satu guru Bahasa Indonesia di MAN dulu. Terima kasih, Budhe! Pengajaran itu melekat kuat. Secuil penting ilmu kehidupan yang sangat besar maknanya. Oke, langsung saja. Memberi bukan berarti bertanya. Hal ini dimaksudkan seperti ini, “Hei, mau kah kau sepotong kue ini?” so, itu bertanya atau memberi? Ya, seringkali kita sebelum memberi kita bertanya terlebih dahulu “Mau, nggak?” meskipun kita memang niat memberi kepada orang lain, ternyata dengan bertanya kita merusak hakikat memberi itu sendiri. Semakin bingung kah?

Simak dulu cerita berikut ini ya 😊

Sepulang dari gedung pendidikan menuju ke asrama di suatu sore. Aku bersama 3 temanku berjalan berdampingan. Melewati rumah Budhe, kami saling menyapa. Ternyata Budhe juga hendak menuju asrama. Budhe memanggil masing-masing dari kami. Seiring berjalan, kami berbincang satu sama lain. Budhe yang asyik menanyakan apa yang kami lakukan di sekolah dan yang lain menjawab. Sebelum kami berbelok, aku hendak memberi kue yang ada di tanganku untuk Budhe. So, “Budhe, ini saya ada kue. Budhe mau?”

Guess! Apa jawaban yang diberikan Budhe kepadaku. “Nggak ah! Kamu mau ngasih atau cuma bertanya?” WOW. Jangan tanya apa yang kurasakan saat itu. Kicep. No words to say. 

“Ya, ini buat Budhe.” Tetap saja beliau menolakku. Teman-teman yang lain pun juga tidak menyangka atas jawaban Budhe. Menangkap maksud dari ekspresi kami, Budhe menjelaskan sebelum kami benar-benar berpisah di ujung jalan.

Dengan lembut beliau menjelaskan “Jika hendak memberi, maka berikanlah. Kita tidak perlu bertanya. Niat tulus memberi memang tidak bisa dibandingkan dengan seberapa banyak yang kita beri, selain itu hakikat sebenarnya memberi ya memberi itu sendiri.” Ya yaa.. pasti kalian semakin bingung. Jadi, di akhir Budhe memberi contoh. “Budhe, ini kue untuk Budhe. Semoga Budhe senang.” 

Gimana? Masih pada bingung? Jadi yuk kita coba bandingkan. 

1.       Bro, mau kaos nggak?
2.       Bro, ini kaos. Semoga pas ya, buat kamu.

Sejak saat itu, setiap kali hendak berbagi sesuatu hampir tak pernah sekalipun menawarkan pemberian. Kendatipun pernah hampir keceplosan pasti langsung teringat momen sore itu bersama Budhe. So, hampir-hampir nggak pernah sekalipun. Ini bermanfaat buatku, semoga buat kalian juga.
Sebelum tulisan ini diakhiri, ada satu idealisme yang muncul. Ternyata, ego punya peran cukup besar dimana “Aku maunya ada timbal balik.” Ya kali, masa setelah memberi kita mengharap timbal balik? Pamrih dong, namanya. Ya, gak sih? 

Jadi, jadi... maksudku seperti ini. Timbal balik yang kumaksudkan adalah respon baik. Atau minimal ucapan terima kasih. Terima kasih. Apa susahnya dua kata ini kita sampaikan? Susaaaah. Siapa setuju? Terima kasih adalah salah satu dari ucapan paling susah disampaikan. Ada ego disana. Atau jika tidak, dia benar-benar tidak merasa perlu berucap terima kasih. 

Oke, jadi semua memang harus dikembalikan kepada masing-masing individunya. Bukan begitu? Menurutku selain memberi, hidup juga tentang penerimaan. Penerimaan tentang suatu keadaan, penerimaan tentang berbagai macam personalia orang lain, bahkan penerimaan hasil yang tak sesuai harapan. 

Simak link berikut ini untuk pendapat lain tentang memberi :)
It was not a matter. It’s all just about time. Ada kalanya, seseorang akan memberi tanpa diminta. Ada kalanya, sesorang sangat senang berterima kasih. Ada kalanya, sesorang akan sangat mudah meminta maaf karena ia merasa berbuat kesalahan meski sedikit. Ada kalanya, ia memberi tanpa menawarkan pemberian. Ada kalanya. Selalu ada kalanya. Lantas, siapa yang membuat “ada kalanya” benar-benar terjadi? Yups, diri kita sendiri. Mari, kita buat kebaikan-kebaikan kecil menjadi bukan lagi ada kalanya. Akan tetapi, benar-benar terjadi di keseharian kita. Wallahu a’lam.

So, terima kasih telah bersedia membaca dan meluangkan waktu untuk mencerna tulisan yang juga sekaligus curhatan ini. Silakan beri kritik dan saran untuk perbaikan kedepan. Berhenti mengeluh dan terus berkarya 😊

15/09/2018
 00:38
Skudai, Johor, Malaysia

As always,
Najaubadati-


Comments

  1. Karakter setiap orang itu kan pasti beda ya. Kadang, ada orang yang merasa gengsi kalau diberi sesuatu. Jadi orang yang mau memberi itu kadang takut kalau menyinggung perasaan orang yang diberi. Jadi sebaiknya gimana ? Kita memberi aja orang yang "neriman" atau kita memberi ya memberi aja, terserah bagaimana presepsinya si penerima ?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Berikan apa yang ingin kita berikan, tentu pemberian yang terbaik. Apa presepsi akan mempengaruhi niat memberi atau berbagi kita? yang menjadi milik kita menurut saya adalah pemberian itu sendiri, sedangkan presepsi? ya, mari kita biarkan itu menjadi pemiliknya.

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Kamu

Ilmu di Setiap Langkah Kaki

Senandung Elegi