PAMIT #Bagian 1

Bersua kembali setelah sekian lama. Hehe. Selamat malam, karena saya menulis ini di malam hari ditemani segelas chocolate latte dan chicken rice bowl. Ah, tak lupa juga, ditemani hiruk pikuk kendaraan di jalan depan saya. I really have my q-time with myself right now. Sangat menyenangkan, ketika bisa menjadi diri sendiri dan mengenali diri lebih dalam. Okay, tentu tidak mau laman ini akan menjadi buku diary saya lebih lanjut bukan? Hehehe. So, what’s topic now?  Cerpen hadir kembali! Saya sedang terobsesi dengan Gerbera dari Asteraceae iniii!! Semoga pada suka!


Sumber :
“PAMIT”
#Part1

“Kamu ini lucu, ya! Umumnya, orang-orang akan menggunakan lilin atau foto. Nah, kamu? Bunga.” Aku sedikit bergumam, ia terbangun oleh gerak gerik teman sekamarnya, Rumaisa. “Hei, jangan nyalakan lampunya. 5 menit saja untuk mengganti mimpiku yang tertunda gara-gara kamu. Sudah tahu, temanmu yang ini sangat peka terhadap gerak-gerik saat tidur kamu masih saja berani mengganggu.” Aku bercanda. Aku tahu betul, Rumaisa akan membalas candaanku, entah dengan lemparan bantal atau justru dengan menyalakan lampunya. Akan tetapi, sepertinya pagi ini tidak sama. Alih-alih membalas candaan tadi, Rumaisa justru menuruti candaanku. Ia berdiam di depan vas bunga yang baru saja ia ganti dengan bunga yang segar. Seperti biasa, Gerbera Putih dan Gerbera Jingga. Ia mengambilnya di ruang penyimpanan pasca bangun tidur. Bahkan sampai detik ini, Rumaisa masih diam.

“Hei, Kamu baik-baik saja?” Aku berniat menyapanya kembali. Kunyalakan lampu kamar. Kudapati ia menelangkupkan kedua tangannya di wajahnya. Sudah pasti ia menangis. Dan bisa dipastikan sedang terjadi sesuatu. Bagaimanapun juga, Rumaisa bukan tipe orang yang mudah menitikkan air mata. Mungkin ini kali pertama atau kedua sejak terakhir kali ia menangis dulu. “Rum, kamu nggak apa kan?” 

“Sampai kapan aku akan terus mengganti vas ini dengan Gerbera segar setiap harinya?” Ia membalas pertanyaanku dengan pertanyaan. Tentu ini bukan Rumaisa seperti biasanya. Aku turun dari kasur, berusaha memeluknya. Meskipun aku tahu pasti berujung penolakan. Dan benar, ia menolak. Lagi-lagi. Seperti itu Rumaisa, pelukan dan air mata hanyalah lambang kelemahan baginya. 

“Apa yang berusaha kamu sampaikan kepadaku, Rum? Kita sama-sama tahu kan, Gerbera sangat baik bagi kesehatan. Bahkan kesehatan mental. Makanya aku nggak pernah segila dulu setelah hampir setiap hari menatap Gerbera di kamar ini.” Semoga berhasil. Semoga candaanku berhasil. Bukan berarti aku tak ingin mengetahui apa yang terjadi, aku hanya berusaha memahami dengan cara lain.  Berhasil! Ia tersenyum untuk itu. Dan secara tiba-tiba air mata di pipinya sudah tidak ada. Secepat itu pula menyembuhkan diri.

“Benar katamu In, aku tidak bisa bersedih di depan dua Gerbera ini. Justru aku yang membuat Gerbera ini tak ada artinya jika aku menangis.” Senyumnya kembali. “Makasih, Ina!” Ia benar-benar bergegas. Sudah pasti ia akan ke ruang penyimpanan dan memeriksa kondisi bunga dan mendata ulang apa yang dibutuhkan dari distributor pagi ini. Rum-panggilan khusus dari aku untuk Rumaisa, akan kembali ke tokonya setelah selesai dengan semua urusan rumah termasuk memasak (untukku juga), membersihkan ruang tamu hingga bahkan membersihkan kamar mandi. Memang aku yang tak tahu diri, ia membiarkanku menumpang tanpa memaksaku untuk membantu mengurus rumah.  Ia benar-benar sahabat terbaik. Aku bisa menjalani hidupku dengan baik salah satunya karena Rum. 

Ia memiliki toko bunga terbaik di sudut kota ini. Tentu, ini adalah salah satu impiannya yang tercapai hasil kerja kerasnya selama ini. Ia membesarkan toko kecil di sudut kota dengan baik. Siapa yang hendak mencapai jarak berkilo-kilo hanya untuk sebuket bunga? Hanya Rum yang mampu menaklukkan hati para pelanggannya. Ia mengenal jenis-jenis bunga bahkan dengan filosofinya dengan baik. Ia juga kreator karangan bunga terbaik. Konsep toko bunga yang ia bangun benar-benar keren. Sunshine Florist, dengan jargon Semua Berbahagia dan konsep yang tertata. Toko bunga yang menawarkan buket bunga, karangan bunga, pelatihan dan festival, hingga proyek-proyek besar lainnya. Aku tahu benar, bagaimana Rum membangun semua ini dengan jerih payahnya. Oh, dan satu lagi! Satu potong chocolate cake bagi pelanggan yang datang langsung untuk memesan atau membeli. 

Sudah ah, cerita tentang Rum. Akan panjang jika kulanjutkan, maka aku pun akan terlambat untuk bekerja. Aku bekerja di Papermint Coffe and Tea sebagai barista. Sejauh ini aku selalu mendapat jadwal pagi, kemudian sorenya aku akan bekerja di toko bunga Rum. Sesungguhnya disini aku tidak benar-benar bekerja. Rum melarangku. Ia tidak menghendakiku bekerja untuknya. Yah, demikian Rum-sahabat terbaik. 

“Ina, nasi goreng ayam kecap sudah siap di meja, jangan bersisa!” Nah, itu dia alarm sarapan pagiku. “Dan jangan lupa habiskan Honey-Lemon-Tea di samping kulkas. Minum sekarang mumpung masih hangat.” Ah, dia benar-benar seperti ibuku. Aku bergegas. Sebelum keluar kamar, kucium Gerbera Oranye di vas. Segar! Konon kata Rum, Gerbera Oranye ini mampu menyuntikkan semangat baru setiap kita mulai melakukan sesuatu. Ya, ini juga yang menjadi alasan Rum memasangnya di vas bersama Gerbera Putih.
***
“Kamu sudah menghabiskan sarapanmu?” Tanya Rum ketika aku lewat di depan toko bunganya.

Aku menyeringai. “Sudah Bunda!” teriakku. Tentu sambil cengengesan ala ala gayaku. Kulihat dari depan, Rum sibuk dengan buket di tangnnya. Itu Gerbera Oranye. Ah, ini Hari Sabtu. Seprtinya ia akan bergegas pula ke sekolah. Meletakkan buket Gerbera Oranye dengan selembar kartu ucapan di meja salah satu guru sebelum pemiliknya datang, atau bahkan sebelum ruang guru mulai ramai. Sudah lama ia melakukan rutinitas ini. Aku tidak tahu untuk apa dan kenapa ia melakukan ini. 

“Hei, kamu mau aku memboncengmu sampai depan sekolah?” teriakku dari luar. Kulihat ia mengangguk. Ia menghampiriku dengan buket di tangan beberapa menit kemudian. Seperti biasa, ia sudah siap dengan celemek dan bandana di kepala. Tapi ia menanggalkan celemek di meja dan naik di boncenganku.

Ia bersemangat. Tersenyum lebar. Seperti Rumaisa Rumaisa biasanya. 

Orang-orang desa cukup mengenal Rum. Mereka menyapa kami “Mbak Ica, Mbak Ina!” Mereka hafal benar dengan kami. Oiya, belum kuceritakan bahwa orang-orang memanggil Rum dengan panggilan Ica. Entah sejak kapan orang-orang memanggilnya demikian. 
“Inaa...” Rum menarik kardiganku. Aku hanya bergumam menjawab sapaannya. “Aku tahu, kamu pasti bertanya-tanya kenapa aku membawa buket ke sekolah. Dan kamu lebih memilih untuk tidak bertanya. Aku mau cerita, tapi nanti saja yaa..” Aku mengangguk. Dan mempercepat laju sepeda motor. Setibanya kami di depan sekolah, aku berpamitan dan Rum bergegas ke ruang guru. Kebiasaan ini benar-benar belum pernah kupahami untuk apa. Kemudian ia akan kembali ke toko bunga dengan berjalan kaki.
***
Sama halnya mencintaimu, mencintai Gerbera juga ada bahagia tersendiri.

Kalau aku tidak salah baca, begitu bunyi kutipan di sampul buku catatan Rum, yang ia isi setiap harinya. Apa satu buku itu tentang Gerbera? Ataukah tentang tokoh-mu- yang ia tuliskan di kutipan itu? Ah, ia benar-benar misteri. Tapi tetap saja, ia akan menceritakannya nanti. Hari ini cukup melelahkan. Toko begitu ramai, dan distributor banyak yang mengirim bunga hari ini. Ah, belum lagi pesan antar. Aku berbaring di atas kasur. Tak lama kemudian Rum masuk dan berbaring di sampingku, dengan sebelumnya mencium Gerbera di vas bunga. Ia meresapi setiap kali ia mencium Gerbera. Kuakui, menghirup wanginya memang sangat menenangkan.


(To be Continued~)

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Kamu

I Hear Your Voice (2)

Ilmu di Setiap Langkah Kaki