Gerimis Bulan Oktober
Gerimis
Bulan Oktober. “Oh, ada apa denganku?” Apa karena beberapa minggu ini gerimis
hatiku menderas? Gerimis Bulan Oktober. Membawaku kembali ke musim dingin
terbaik di Kyoto satu tahun yang lalu. Ah, sudahlah. Rangkaian kejadian di masa
lalu akan selalu menjadi sebuah kenangan. Biarkan musim dingin Kyoto waktu itu
menjadi kenangan yang tersimpan rapi. Tersimpan rapi di salah satu sudut ruang
hatiku. Ia selalu menjadi kenangan itu.
Ia yang beberapa waktu lalu, memberi sebutir kebahagiaan di gersangnya hatiku.
Ia yang memenuhi lobus-lobus kepalaku akhir-akhir ini.
Gerimis
Bulan Oktober. Seirama dengan gerimisnya hatiku. Gerimis tentang cinta dan rasa
sakitnya. Seirama dengan alunan nada rindu-rindu untuknya. Seirama pula dengan
rasa benci yang kemudian perlahan tumbuh di sudut ruangan lain di hatiku.
Gerimis
Bulan Oktober. Bebal hati tak mampu tertahan. Namun, mataku masih kukuh
bebalnya. Tak ingin pula menciptakan gerimis yang lain. Tentang Bulan Oktober.
Tentang Kyoto dan musim dinginnya. Tentang Kyoto dan dirinya. Tentang ia dan
pisau belatinya. Menyayat sempurna rasa-rasa yang mulai berkembang untuknya.
Memangkas habis bibit suka cita. Membungkam setiap rindu yang ingin
tersampaikan untuknya.
Gerimis
Bulan Oktober. Kini gerimis berubah menjadi deras. Tapi kuharap gerimis di
hatiku tidak sederas gerimis Bulan Oktober. Kuharap gerimis di hatiku mereda.
Seiring meredanya deras gerimis Bulan Oktober.
Gerimis
Bulan Oktober. Teringat kembali seulas senyumnya kala itu. Senyum yang kemudian
membawa cerita. Cerita dengan latar kesempurnaan musim dingin Kyoto dan gugur
daun tanamannya. Oh, terlalu jauh. Aku sudah mengikat kenangan itu terlalu
jauh. Ternyata ia tak tersimpan rapi. Masih ada beberapa butir yang mencoba
menyeruak mengusik salah satu sudut hatiku.
Gerimis
Bulan Oktober. Apakah di hatimu juga ada gerimis? Apakah sederas gerimis
hatiku? Sirat matamu terakhir kalinya menyuratkan demikian. Gerimis itu deras.
Rendah suaramu menyuratkan hal yang sama. Gerimis itu deras. Sederas gerimis
Bulan Oktober. Lalu, apakah gerimis kita sama?
Gerimis
Bulan Oktober. Hanya gerimis saja. Tapi angin yang menyertai begitu kencang.
Menyulut api kenangan untuk kemudian menyeruak. Membangkitkan kerinduan untuk
semakin membuncah.
Angin.
Skrip dramaku diterpa oleh kencangnya angin. Sejenak kemudian aku tergugu.
Kemudian tersadar bahwa lagi-lagi aku melamun. Denting di sudut ruangan ini
membantu menyadarkanku bahwa hari telah pagi, dan tak ada satu dialog pun yang
aku kuasai.
Ah,
gerimis Bulan Oktober. Terima kasih sudah membawaku menuju gerimis di hatiku.
Semoga mereda, bukan semakin deras. Semoga merela, bukan tak ikhlas. Terima
kasih gerimis Bulan Oktober. Terima kasih musim dingin Kyoto. Terima kasih kamu
dan segenap perangaimu.
Comments
Post a Comment