Gerimis Bulan Oktober


Denting di sudut kamar  ini semakin memanduku menyelami berlembar-lembar skrip drama untuk pentas seni daerah besok lusa. Menyelami tapi tak memahami. Tak ada satu dialog pun yang berhasil direkam oleh otakku. Anganku melayang. Sedang jiwaku tak ada disini. Ruangan ini berhasil kusulap menjadi ruang hampa. Aku pasrah. Skrip itu kulempar begitu saja ke lantai kamarku. Aku bersandar ke kaki ranjang. Kemudian termenung menghadap arah luar jendela. Angin melambai-lambai. Semakin waktu berlalu, angin pun semakin kencang. Memeluk kuat hingga dingin menusuk tulang. Nampaknya hujan akan segera turun. Membasahi dataran yang sudah keronta beberapa bulan ini. Juga membasahi sudut-sudut ruang hatiku. Ah, sudah lama hujan tak turun. Nampaknya, aku merindui rintik-rintik air langit itu. Akhirnya kumulunimbus pun pecah. Memuntahkan beberapa volume air langit. Sepertinya hujan rintik. Gerimis. Ah, gerimis.
            Gerimis Bulan Oktober. “Oh, ada apa denganku?” Apa karena beberapa minggu ini gerimis hatiku menderas? Gerimis Bulan Oktober. Membawaku kembali ke musim dingin terbaik di Kyoto satu tahun yang lalu. Ah, sudahlah. Rangkaian kejadian di masa lalu akan selalu menjadi sebuah kenangan. Biarkan musim dingin Kyoto waktu itu menjadi kenangan yang tersimpan rapi. Tersimpan rapi di salah satu sudut ruang hatiku.  Ia selalu menjadi kenangan itu. Ia yang beberapa waktu lalu, memberi sebutir kebahagiaan di gersangnya hatiku. Ia yang memenuhi lobus-lobus kepalaku akhir-akhir ini.
            Gerimis Bulan Oktober. Seirama dengan gerimisnya hatiku. Gerimis tentang cinta dan rasa sakitnya. Seirama dengan alunan nada rindu-rindu untuknya. Seirama pula dengan rasa benci yang kemudian perlahan tumbuh di sudut ruangan lain di hatiku.
            Gerimis Bulan Oktober. Bebal hati tak mampu tertahan. Namun, mataku masih kukuh bebalnya. Tak ingin pula menciptakan gerimis yang lain. Tentang Bulan Oktober. Tentang Kyoto dan musim dinginnya. Tentang Kyoto dan dirinya. Tentang ia dan pisau belatinya. Menyayat sempurna rasa-rasa yang mulai berkembang untuknya. Memangkas habis bibit suka cita. Membungkam setiap rindu yang ingin tersampaikan untuknya.
            Gerimis Bulan Oktober. Kini gerimis berubah menjadi deras. Tapi kuharap gerimis di hatiku tidak sederas gerimis Bulan Oktober. Kuharap gerimis di hatiku mereda. Seiring meredanya deras gerimis Bulan Oktober.
            Gerimis Bulan Oktober. Teringat kembali seulas senyumnya kala itu. Senyum yang kemudian membawa cerita. Cerita dengan latar kesempurnaan musim dingin Kyoto dan gugur daun tanamannya. Oh, terlalu jauh. Aku sudah mengikat kenangan itu terlalu jauh. Ternyata ia tak tersimpan rapi. Masih ada beberapa butir yang mencoba menyeruak mengusik salah satu sudut hatiku.
            Gerimis Bulan Oktober. Apakah di hatimu juga ada gerimis? Apakah sederas gerimis hatiku? Sirat matamu terakhir kalinya menyuratkan demikian. Gerimis itu deras. Rendah suaramu menyuratkan hal yang sama. Gerimis itu deras. Sederas gerimis Bulan Oktober. Lalu, apakah gerimis kita sama?
            Gerimis Bulan Oktober. Hanya gerimis saja. Tapi angin yang menyertai begitu kencang. Menyulut api kenangan untuk kemudian menyeruak. Membangkitkan kerinduan untuk semakin membuncah.
            Angin. Skrip dramaku diterpa oleh kencangnya angin. Sejenak kemudian aku tergugu. Kemudian tersadar bahwa lagi-lagi aku melamun. Denting di sudut ruangan ini membantu menyadarkanku bahwa hari telah pagi, dan tak ada satu dialog pun yang aku kuasai.

            Ah, gerimis Bulan Oktober. Terima kasih sudah membawaku menuju gerimis di hatiku. Semoga mereda, bukan semakin deras. Semoga merela, bukan tak ikhlas. Terima kasih gerimis Bulan Oktober. Terima kasih musim dingin Kyoto. Terima kasih kamu dan segenap perangaimu.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Kamu

Ilmu di Setiap Langkah Kaki

Senandung Elegi