I Hear Your Voice (2)
“La, jangan
diulangi lagi. Tidak seterusnya kau menjadi orang yang kuat. Tak ada salahnya
sekali kau menjadi orang yang lemah. Kau juga butuh orang lain, La.” Nasihat
dari Pras menutup pertemuan ku dengannya di suatu waktu. Sekali lagi, Pras
seperti bunda saja. Apa yang salah dengan caraku hidup? Asal Pras tahu, aku
adalah orang yang paling lemah di antara orang yang ia temui. Semua yang ada di
luarku hanyalah tabir. Oh, aku begitu jujur. Mungkin itu alasan Pras peduli
padaku akhir-akhir ini. Tapi aku tak pernah suka menjadi lemah. Bagaimana
mungkin aku berburuk sangka pada Pras. Atau mungkin Pras.. Ah, sudahlah. Seorang
gadis memang pandai berasumsi.
Pagi ini Pras
berjanji mengantarku ke pusara bunda. Pras menjadi salah satu dari sedikit
orang yang tahu kalau bunda sudah pergi. Namun, setelah dua jam menunggu Pras
tak kunjung terlihat ataupun deru knalpot motor Pras juga tak terdengar. Oh,
mungkin Pras lupa, atau ia tertidur, atau ia sengaja melupakanku. Wahai, Pras
juga manusia. Sehingga kuputuskan untuk pergi dengan taxi. Sedikit kecewa,
tentu. Pras. Bagaiamana mungkin ia menyita pikiranku beberapa waktu terakhir ini.
Otakku terus membuat asumsi-asumsi kecil diluar kendali.
Dua jam
kemudian, taxi yang kutumpangi berhenti tepat di pemakaman umum tempat pusara
bunda. Bunda, apa kabar? Kalau saja aku boleh memohon kepada Tuhan untuk
mengembalikan bunda, tentu aku memintanya. Di duniaku sekarang, praktis aku
seperti tak memiliki siapapun. Tinggal ayah. Satu-satunya tempat aku berpijak.
Kemudian, bagaiamana aku harus menjalani hidupku dengan segala bentuk kelemahan
yang sudah sejak lama bersarang di tubuhku. Pras salah besar. Jika aku hidup
dengan kelemahanku aku tak akan bisa mencapai titik hidupku sekarang-selangkah
menuju wisuda fakultas kedokteran di universitas ternama. Pras, aku tak siap
dengan kelemahan, setidaknya bukan untuk yang kedua kali. Dan, air mata
yang selama ini kudekam di tempatnya akhirnya tanpa peduli ia keluar begitu
saja. Ya, begitu saja hingga membasahi wajahku.
“Bukan begitu,
La! Kau gadis yang tangguh, kuat, hebat, tapi tak selamanya kau menutupi
kelemahanmu dan mempersulit dirimu sendiri, meskipun kau sanggup mengatasinya.
Dengerin La, setidaknya tidak kepadaku.”
Tukas suara itu-milik Pras tentunya-mengagetkanku. Ia memberikan sapu
tangannya tapi aku terlalu naif untuk menerima. Aku segera menghapus dan
memalingkan muka, ke arah yang berlawanan dengan arah asal suara yang halus
itu.
“Kau selalu
curang, Pras.” Balasku dengan sedikit sesenggukan. “Kau selalu membuatku selalu
diliputi sisi lemahku. Kau membuatku berbicara dari aku yang sangat tak suka
berbicara terlebih tentangku sendiri. Berbicara tentang gurauanku ataupun
tentang mimpi-mimpiku, tapi aku suka.” Akhirnya semua itu terungkap.
“La, kau
membuatku malu. Ah, pandai sekali kau ini menyembunyikan semuanya. Ternyata
Laila bukan seperti gadis tangguh yang kukira. Eh, dia masih harus dikasih es
krim sepertinya.” Sekali lagi Pras dengan gurauannya. Tapi aku suka.
“Kau jahat
Pras. Kau kejam. Kau harus membelikanku es krim sekarang.” Protesku kepada
Pras.
“La, kau
benar-benar tega ya. Sepertinya aku sudah pantas masuk penjara, bagaimana tidak
ketika kau bilang aku curang, jahat, dan kejam dalam satu waktu?” entah
keberapa kalinya Pras berhasil membuat suasana hatiku lebih baik.
“Prasetya!”
tukasku mendelik. Bunda, apa bunda yang meminta Tuhan untuk mengirimku
seorang Pras? Apapun itu, aku percaya hal besar apapun dibalik kuasa Tuhan.
Tak ada pertemuan yang sia-sia. Itu saja. Hal lain, yang sejauh ini belum
pernah kutahu dan akhirnya Pras memberitahuku adalah bahwa ia memiliki-sejenis
kekuatan atas kuasa Tuhan-yang aku penasaran dan aku tahu dengan jelas ketika
ia bertanya padaku. “Bagaimana dengan ayah, La? Kau tak pernah bercerita.”
Pertanyaan yang membuatku diam seribu bahasa. Kejadian yang tak akan pernah
kuceritakan pada siapapun. Aku bungkam mendengar pertanyaan Pras. Sedikit demi
sedikit otakku memutar kembali kejadian di masa-masa itu. Pras pun tak
memburuku dengan pertanyaan yang lain, aku tahu ia menungguku menjawab. Aku tak mau air mata ini kembali menderu
wajahku. Aku menundukkan kepala. Terdengar Pras menarik napas dan bersiap
memulai pembicaraan. Aku tak sanggup melakukan apapun, walau hanya sekadar
meminta Pras berhenti bertanya. Semuanya sulit, aku tenggelam dalam lindu
kelemahan. “Tak usah kau ceritakan La. Aku tahu. Saat –saat sulit itulah yang
berhasil membawamu. Ayahmu akan bertahan, La. Beliau orang yang kuat. Kau pasti
bisa membanggakannya.” Sontak aku kaget mendengar kalimat yang keluar dari
mulutnya. Bagaiamana mungkin ia tahu? “Jangan bertanya aku tahu dari mana, La.
Hanya saja aku tahu.” Bagaiamana mungkin ia menjawab pertanyaan yang bahkan tak
terlontar dariku?
“Pras, jujur!
Kau bisa membaca pikiran! Jika iya, sudah seberapa banyak yang kau baca dariku?
Pras, tolong! Kau benar-benar jahat! Apa mungkin kau mengetahui semuanya sehingga
kau iba denganku? Kenapa kau tak pernah bilang padaku?” tanpa kusadari, aku
menyerbu Pras dengan pertanyaan-pertanyaan itu.
“Maka dari itu
kubiarkan kau tahu dengan sendirinya. Aku memang iba, tapi tak mudah dikatakan
iba begitu saja. Aku tulus La! Kau orang yang berhasil menyita keinginanku
untuk tidak membaca pikiran orang lain. Karena aku tahu, aku curang jika
demikian. Tapi, padamu hal itu menjadi lain, La.” Jelas Pras. Tapi Pras, asal
kau tahu saja aku suka kau membaca pikiranku.
“Kalau gitu,
aku tak perlu berbicara padamu. Tinggal berpikir saja. Lumayan juga sih, tak
banyak keluar energi.” Tukasku bercanda.
“Kamu
keteraluan La.”
***
Sekalipun Pras
bisa membaca pikiranku, Pras tak pernah tahu apa yang benar-benar
kusembunyikan. Dan apa yang telah kututupi sejauh ini. Tak ada satu orang pun
yang tahu, entah ayah ataupun Bi Ijah. Terlebih seorang Prasetya. Pras hanyalah
satu dari segelintir orang yang sangat kuterima kedatangannya di kehidupanku,
bahkan entah kenapa pintuku terlalu terbuka lebar untuknya. Pras, terima kasih
dan maafkan aku.
Terik matahari
siang itu, menyuguhkanku dengan serangan mendadak di kepalaku yang sudah jarang
sekali hadir belakangan ini. Buku referensi yang kubawa dari perpus terlepas
bgitu saja dari tanganku. Satu tekatku adalah, aku harus wisuda bulan depan.
Tapi ada apa denganku hari ini? badanku pun tersungkur. Tak ada seorang pun
yang melihatku disini. Karena aku suka sepi, kupilihlah jalan ini. Tiba-tiba
nasihat Pras melayang di kepalaku. Pras benar. Dia selalu benar dari aku.
Kuambil telepon genggamku dan mendial nomor Pras-satu-satunya orang yang aku
punya alasan untuk menghubungi. Dua kali tak ada jawaban, sekali lagi aku
pasrah. Aku tak sanggup. “Halo, La! Ada apa?” aku terdiam. Tak menjawab, tapi
aku berpikir. “Tunggu disitu, jangan kemana-mana.” Pras menutup telepon.
Beberapa jam berikutnya
aku sudah ada di atas ranjang rumah sakit. Tentu hal yang sangat tak
kuharapkan. Bunda kenapa aku rindu sekali sama Bunda? Ada Pras diujung
sofa. Tertidur. “Pras.” Kataku lirih. Ia terbangun dan mendekat.
“Kenapa kau tak
pernah bercerita padaku La? Apa kau meremehkanku menjadi orang yang bisa kau
percaya?” Protes Pras.
“Hanya saja aku
tak ingin bercerita, Pras.” Ini hal yang tak baik, beberapa menit kemudian aku
merasakan dentuman keras di kepalaku, pandanganku memburam. Ini jauh lebih
sakit dari sebelumnya. Pras, ada baiknya kau puya kemampuan membaca pikiran
orang lain. Di keadaan seperti ini, aku hanya mampu berpikir. Tak kuasa mulutku
berucap, sudah. Bunda, Laiala akan segera datang. Pras, terima kasih kau
sudah mau hadir, singgah, dan menetap di kehidupan gadis yang sangat lemah
seepertiku. Maaf aku belum bisa memenuhi janji apapun yang pernah kubuat, tapi
aku selalu percaya kau adalah orang baik yang bisa kuandalkan, dan aku selalu
mempercayaimu. Sepertinya, bundaku sangat berrterima kasih padamu, sudah peduli
dengan anak gadisnya ini. Pras, kau orang yang baik. Bolehkah gadis lemah ini
merepotkanmu sekali lagi, aku titip ayah Pras. Satu-satunya hartaku yang
berharga. Kutitipkan segala rasaku padamu, tapi jangan pernah kau terima rasa
sakitku. Maafkan aku, Pras. Asumsi-asumsiku tak ada yang tepat, karena Tuhan
memanggilku lebih cepat. Abaikan saja gadis yang penuh asumsi ini. Tapi, terima
kasih. Kau membuat kanvas hidupku dengan sangat indah. Berbahagialah Pras.
“Aku bisa
penuhi apapun pintamu, La. Tapi aku tak tahu bagaiamana dengan berbahagia.
Karena bahagiaku adalah kamu.”
~
Selesai sudah, cerpen iniiii. Entah apayang akan terjadi pada Pras dikehidupan yang selanjutnya. Semoga menghibur, walaupun sedikit semoga tetap mampu menginspirasi. Jangan lupa untuk terus menulis dan berkaryaa~
Ternyata sad ending :'(
ReplyDeleteMemahami pikiran Laila lebih sulit daripada menyusun rubik 6x6. Bahkan lebih dari itu.
Hanya saja Laila tak pernah sesederhana itu.
DeleteIa wanita yang rumit dan suka mempersulit dirinya sendiri. Laila berpesan kepadaku, ingatkan Pras untuk selalu berbahagia.
Tapi Laila pun tahu untuk bahagia juga tak sesederhana apapun
Ternyata sad ending :'(
ReplyDeleteMemahami pikiran Laila lebih sulit daripada menyusun rubik 6x6. Bahkan lebih dari itu.