Lika-liku Merindu

Assalamualaikum, sahabat Kotak Inspirasi :) Semoga senantiasa baik dan sehat di hari kelima belas Ramadhan ini. Gimana rasanya Ramdhan tahun ini? Masihkah rindu itu menggebu-menggebu? Atau semakin menjadi-menjadi? Ataukah rindu itu sudah sangat menyakitkan karena tinggal setengah bulan lagi perjumpaan kita dengan Ramadhan? Rindu. Ah, rindu. Selalu menjadi topik seru dari waktu ke waktu. Atau mungkin rindu kita sudah terkikis habis oleh congkak kita karena tak bersyukur sama sekali atas bulan ini? Ataukah rindu ini hilang karena kita banyak menyimpang bahkan di bulan yang mulia ini? Na'uudzubillah. Well, penulis datang dengan cerita baru nih...Tentang Naima, bukan lagi remaja tanggung yang masih berkelebat hebat dengan rasa rindunya. Semoga 
bermanfaat~

Lika-liku Merindu


“Bunda..siapakah orang yang paling dibenci oleh Allah?” 

Naima termenung diatas sajadahnya. Ia baru saja menyelesaikan dua rakaat sholat sunnah wudhu. Kepalanya dipenuhi banyak hal. Ia bahkan tidak bisa khusyuk menjalankan sholatnya. Salamnya hanya dipenuhi penyesalan. Penyesalan karena ia tidak sepenuhnya ada diatas sajadah. Penyesalan. Sholatnya hanya sia-sia. Rukuk dan sujudnya hanya sia-sia. Ia putus asa. Bagaimana mungkin ia membiarkan setan bermain-main di hati kecilnya. Rasa benci itu tak kunjung reda. Bahkan seusai salamnya tadi, ketika tiba-tiba ia teringat masa lalunya. Kurang lebih lima belas tahun silam. Ketika ia masih mengenal dua sahabat masa kecil, dua kucing kesayangan Kika dan Kiki, dan juga Dino anak kambing yang ditinggal mati oleh mamanya. Naima ketika itu sangat menyayangi hewan-hewan piaraannya, menyangai dua sahabat masa kecilnya, dan juga satu lagi yaitu pemotong rumput kesayangan Naima. Kerap kali Naima memainkan mesin pemotong rumput buatan ayahnya tersebut. 

Suatu sore, ketika ia harus dihadapkan oleh sebuah kecalakaan Kika di depan matanya, ia termenung seketika. Kiki tak lagi memiliki saudara. Naima merasa kehilangan separuh jiwanya. Ia termangu di pinggir jalan. Kika dilindas oleh mobil dengan begitu kejam. Sejenak kemudian air mata membanjiri wajahnya. Segera mungkin ia berlari kedalam rumah, berteriak memanggil bunda sambil menangis tentunya. “Kika bunda...Kika tertabrak mobil.” Ia berkata sambil terisak. Tak lama kemudian ia berkata. “Bunda, mobil itu jahat. Mobil itu membunuh Kika. Mobil itu bahkan tidak mau meminta maaf. Bundaa..mobil itu harus dihukum.” Ia marah dalam tangisnya. Bunda hanya tersenyum sambil berkata “Itu tandanya, Allah sedang sangat merindukan Kika, sayang.” Sejenak kemudian Naima mulai terdiam, mengusap air mata dan memeluk bunda.

Malam hari setelah kejadian itu, Naima masih bertanya-tanya. Tentang kematian Kika, tentang mobil yang tak mau meminta maaf, tentang betapa ia membenci pengendara mobil, dan tentang bagaimana ia membenci dirinya sendiri yang tak mampu menjaga Kika. Sudah pukul sepuluh malam dan ia tak kunjung tidur. Bunda pun memasuki kamar dan duduk disampingnya. “Kenapa belum tidur sayang?” bunda bertanya.

Bunda, siapakah orang yang paling dibenci Allah?  Itulah pertanyaan yang terlontar dari Naima kepada bundanya. Kemudian bunda menjawab dengan lembut. Kenapa Naima harus bertanya yang paling dibenci Allah ketika kita bisa menjadi yang paling disayang oleh-Nya?  Setelah bunda kembali bertanya, Naima mengangguk dan menyampaikan bahwa Naima ingin bertanya kedua hal tersebut. Kemudian bunda menjelaskan bahwa yang paling disayang oleh Allah adalah ketika hati manusia itu bersih dan tenang dari rasa benci yang bersarang di hatinya, itu artinya Allah sangat menyayangi hamba-Nya yang dengan murah hati dapat memaafkan kesalahan dan berdamai dengan keadaan. Sedangkan yang paling dibenci oleh Allah adalah yang dalam hatinya masih tersumbat kebencian, ia pupuk hingga subur dengan bantuan setan sehingga dendam meletup-meletup dan ia tak pernah ada maaf bagi kesalahan. Begitulah orang yang pelit, oleh karena itu hatinya menjadi sempit. Orang yang pelit memaafkan maka hatinya akan sempit oleh rasa dendam. Sebelum tertidur, Naima sempat bergumam “Ya Allah, apakah Engkau memaafkanku atas kebencianku terhadap mobil yang menabrak Kika? Sekarang aku sudah memaafkannya, jadi... maafkan dan sayangi aku ya Allah.” Ia berdoa dan tertidur kemudian.

Kenapa harus menjadi yang dibenci ketika kita bisa menjadi yang disayangi?  Naima masih termenung diatas sajadahnya. Ia teringat akan hal itu. Akan tetapi, hatinya sedang porak-poranda oleh rasa benci yang teramat sangat dan ia pupuk hingga tumbuh subur. Setan bersorai atas Naima. Namun tadi, seusai berwudhu ia mulai resah hingga akhir dua rokaatnya. Apa yang ia dapatkan dari rasa benci yang ia pendam dan pupuk selama ini? Tidakkah dulu, ketika silaturrahim itu masih terikat erat sangat menyenangkan? Tidakkah dulu semuanya begitu menenangkan? Tidakkah dulu, serasa pintu surga Allah sangat terbuka lebar baginya? Sahabat serasa keluarga, keluarga serasa surga. Tapi apa yang ia miliki sekarang? Tidak ada. Ia hanya berteman dengan dendam dan rasa benci. Ia hanya berteman dengan rasa kesal dan tak berguna. Ia hanya berteman dengan kemarahan. Usia berapa ia sekarang? 20 tahun sudah ia hidup dimuka bumi. Namun ia telah kalah dari Naima kecil. Naima yang dulu sangat mendengarkan kata-kata bundanya, yang periang dan bersahabat baik dengan teman-temannya, terlebih Naima kecil yang gemar memaafkan walaupun ia telah dilukai, yang menyangi walaupun ia seringkali dibenci. 

Satu jam kemudian, sajadah dan mukena yang Naima kenakan sudah basah oleh air mata. Semoga bukan air mata yang sia-sia. Akan tetapi, air mata berbau surga yang penuh keridhoaan-Nya. Sejenak kemudian ia tersungkur dalam seujudnya. Ya Allah, apakah Engkau akan memaafkanku? Apakah pintu maaf-Mu dapat terbuka bagi pendendam sepertiku? Tubuhnya bergetar. Ia terisak kuat dalam sujudnya. Suasana duha begitu menenangkan, membuatnya ingat bahwa ia telah sangat jauh terbawa permainan setan. Ia telah rela begitu saja ditertawai oleh mereka. 

Setelah bangun dari sujud dan mengusap air matanya, ia mendongak sekali dan kembali menunduk. Bunda. Aku memerlukan bunda. Naima membutuhkan bunda. Merindukan pelukan hangat dari bunda. Angin berhembus perlahan dari luar menuju kedalam masjid. Membelai lembut. Menerpa halus wajah rupawan itu. Allah Maha Mendengar dan Allah Maha Berkuasa. Seketika, Naima merasakan kehangatan dalam hatinya. Lembut. Sembari berlalu, angin tersebut seolah membisik “Memaafkanlah dan berdamai, sayang. Itu satu-satunya cara agar hatimu memiliki ruang.”

Genap sudah dua jam Naima terduduk diatas sajadahnya. Sekarang ia sadar. Banyak hal yang teramat ia rindukan. Banyak hal yang telah ia lewatkan selama ini. Selama ia menuruti  kebencian-kebenciannya. Ia merindu dicintai dan disayangi oleh adik-adiknya, sahabatnya, dan juga keluarganya. Terlebih, ia sangat merindukan bangunan yang telah runtuh karena ia rusak tiang-tiangnya. Ia rindu. Ia merindu. Merindu teramat sangat. 

The End.
~N~

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Kamu

Ilmu di Setiap Langkah Kaki

Senandung Elegi