Secuil Tentang Kematian

Bismillahirrahmaanirrahim…
Come back, to my site… yeay~
Kali ini insyaAllah ada sedikit catatan unyil dari pinggiran jalan raya desa penulis. Semoga bermanfaat dan menginspirasi. Tulisan berdasarkan kisah nyata dengan beberapa suntingan.


“Assalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh. Bapak-bapak, Ibu-ibu, kaum muslimin muslimat Desa Ngreco. Diumumkan bahwasanya Bapak Amin hari ini meninggal dunia.”
Lihat? Baru saja aku menapakkan kaki di bumi desaku, disambut dengan kabar duka tersebut. Sudah pasti, tulisan-tulisan selanjutnya akan berkisah tentang kematian dan hita-putihnya. Sejak pengumuman itu menggema dari menara Masjid Jami’ itu, aku merenung. Inginnya menyendiri, ditemani angin malam. Ternyata, kematian itu begitu dekat. Sedekat aliran darah manusia. Anggap saja demikian.

Bisa jadi, ketika makan pun suapan pertama berujung kematian, setapak jalan yang dilewati juga berujung kematian, bahkan bisa jadi setiap rukuk sujud kita berujung kematian. Bukankah semuanya berujung kematian? Ingin bersimpuh saat itu juga. Teringat, selama ini belum tentu aku memanfaatkan nikmat nafas yang Allah berikan kepadaku dengan baik. Tangan berbuat tidak pada tempatnya, kaki yang berjalan bukan pada jalan yang diridhoi-Nya. Sedang mata, selalu memandang yang dilarangnya. Terlebih hati dan mulut, yang seringkali merasa rasa yang tidak berhak dirasa, dan mulut yang mengucap rangkaian kata yang sia-sia tak bermakna. Astaghfirullahal’adim. Astaghfirullahal’adzim. Selama ini pikiran hanya sibuk berpikir bagaimana kehidupanku besok dan besoknya lagi-kehidupan dunia. Bagaimana dengan masa laluku-masa lalu kehidupan dunia. Ah, benar-benar tak sedikit pun aku berpikir tentang kematian yang begitu dekat denganku. Tentang kematian dan kehidupan setelahnya.

Jika setetes tinta merusak susu sebelanga. Maka setitik keburukan akan menutup semua kebaikan. Astaghfirullahal’adzim. Maka setitik kebencian akan merusak segenap rasa cinta. Maka setitik pengkhianatan akan merusak segenap kepercaayaan. Tapi, Allah tetap Maha segala Maha. Pemiliki segalanya. Maka Allah lah pemilik semua kebaikan dan segala rasa cinta.

Apakah aku sudah terlalu jauh, wahai Tuhanku? Jika, aku kembali apakah Kau akan menghendaki? Apakah masih ada pintu yang terbuka, walaupun hanya sejengkal saja? Dan, apakah aku akan diterima?

Apalah aku jika hanya merenung. Dan apalah aku yang hanya berulang kali mengulang kesalahan yang sama. Terlebih lagi, seringkali melewati batas-batas sendiri. Mengiyakan yang seharusnya tidak. Membolehkan yang seharusnya tidak. Hei, renungan itu hanya akan berujung renungan tanpa ada pergerakan. Apalah keinginan yang ada tanpa tindakan? Nonsense kan. Sudahlah, waktunya bangkit.

Wahai, pemuda muslim! Sebagai tonggak kejayaan agama, bangsa, dan Negara apakah kita siap? Ah, tidak-tidak. Apakah gelar tonggak tersebut patut disematkan kepada kita? Aku rasa tidak. Tidak, tanpa ada perubahan. Tidak, tanpa ada kesadaran berubah dan bergerak. Maka, jadilah dan jadilah!

Nduk, ayam-ayam e ndang dipanggang!” itu seruan ibunda tersayang. Sepertinya, renungan ini mencapai ujungnya. Semoga Bermanfaat~


Comments

Popular posts from this blog

Tentang Kamu

I Hear Your Voice (2)

Ilmu di Setiap Langkah Kaki