Amygdala
The second short story in this site. Hopefully, you can enjoy it well :) Happy reading guyss..
Apa alasan ayah dan mama Ain tidak memberi tahu
hal yang sebenarnya terjadi? Karena mereka percaya, Tuhan sudah sangat baik
kepada Ain. Karena mereka tahu bahwa cinta selalu menemukan jalannya. Jalan
yang tak pernah diduga. Ketika amygdala yang dimiliki manusia bekerja dengan
baik, maka segala rasa pada manusia akan tetap ada.
Finally, the story is done. Kritik, saran, komen, tanggapan is free di kolom bawah yaa :) Thanks for reading. Semoga bermanfaat. Berikut daftar istilah yang digunakan dalam cerita. Beberapa istilah dalam bahasa Finlandia dan bahasa latin
1. Russelia : Kata kedua pada nama Ain berasal dari bahasa latin Russelia, adalah nama genus dari bunga air mancur
2. Rakastan sinua : aku mencintaimu
3. Nӓhdӓӓn huomenna : sampai jumpa
4. Kiitos : terima kasih
5. Anteeksi : permisi, maaf
6. Herkullinen : lezat, nikmat
7. minun nimeni on : perkenalkan, namaku..
8. Hyvaa payvaa : selamat siang
9. Hyvaa paivanjatkoa : semoga harimu menyenangkan
10. Moi : Hai, halo
Cerpen ini diterbitkan dalam antologi cerpen Seribu Wajah di Balik Lensa oleh Penerbit Jendela Sastra Indonesia
Ain merapatkan mantel biru muda yang
ia kenakan, membenahi posisi topi dan memastikan telingnya tertutup rapat. Ia mengenakan
sarung tangan dengan warna senada mantelnya, kemudian memasukkan tangan ke
dalam saku mantel. Cukup hangat. Suhu di Helsinki sangat dingin, mencapai -200C.
Salju yang menyelimuti, membuat Helsinki-kota dengan arsitektur yang
fantastik-semakin cantik-di puncak musim dingin ini. Ain baru saja keluar dari
stasiun dan bergegas menuju Helsinki Central Library yang terletak di pusat
kota. Desember di Finlandia merupakan puncak suhu paling rendah musim dingin.
Finlandia merupakan negara yang terletak dekat dengan kutub utara. Sehingga ketika
musim panas akan terasa sangat panas, dan ketika musim dingin akan terasa sangat
dingin, seperti sekarang ini.
Setibanya di perpustakaan Ain
melepas mantel, topi dan sarung tangan serta meletakkan ke lemari penitipan. “Moi, Hietamaki! Hyvaa paivaa!” seperti biasa, ia menyapa Hietamaki-penjaga
perpustakaan yang sudah menghafal jam kunjung Ain di perpustakaan ini.
Hietamaki membalas sapaan Ain dengan senyuman “Hyvaa paivanjatkoa, Aina!”
Ain menyukai perpustakaan ini. Selain
tenang, perpustakaan ini bersih, nyaman, serta tertata dengan teratur. Tujuan Ain
menyita waktunya disini adalah untuk memenuhi data tesisnya. Ain adalah
mahasiswa pascasarjana Helsinki University jurusan Filsafat Pendidikan. Ia mencintai
pendidikan. Ain memiliki sense of
education yang luar biasa, terlebih ia akan menyelesaikan program
pascasarjananya ini di usia yang ke 20 tahun. Oleh karena itu, dua paper
terakhir Ain mendapat nilai all-outstanding.
Ain gadis dengan dua lesung di pipinya merupakan gadis yang menyenangkan. Ia menyukai
anak-anak. Tak jarang ia sering berkunjung ke taman untuk bermain bersama mereka.
Ia juga seorang pemusik yang baik. Selain pandai bernyanyi, Ain juga pandai bermain
beberapa alat musik. Tak jarang Ain membawa pianika ketika bermain bersama
anak-anak. Selain taman, tentunya perpustakaan adalah bagian terfavorit Ain
dari Helsinki-Ibu Kota Finlandia ini.
Helsinki Central Library adalah satu
dari sekian perpustakaan yang ada di Kota Helsinki. Perpustakaan ini sudah
menjadi tempat kesukaan Ain untuk menghabiskan waktunya semenjak kedatangan
perdananya di Finlandia 2 tahun silam. Cukup dengan melihat arsitektur gedung
perpustakaan ini, Ain tahu persis bahwa di dalamnya akan sangat nyaman dan
menyenangkan. Hal itu terbukti setelah kunjungan pertama Ain dalam rangka
menikmati musim dingin pertamanya-juga 2 tahun silam. Perpustakaan ini tidak
seperti perpustakaan pada umumnya, Helsinki Central Library memiliki banyak
ruang untuk membaca dan belajar. Selain itu banyak ruang untuk meningkatkan
skill audiovisual. Bahkan taman perpustakaan juga digunakan untuk taman baca,
dimana kita bisa berdikusi dengan pengunjung yang lain. Perpustakaan ini
bersih. Kesadaran pengunjung akan kebersihan sangat tinggi. Sehingga petugas
tidak perlu mengingatkan untuk membuang sampah dan menjaga kebersihan. Ini perpustakaan yang luar biasa. Batin Ain
saat kunjungan pertamanya.
Hari ini Ain akan melengkapi data
tesisnya tentang filsafat pendidikan. Ia merujuk pada pandangan salah satu
tokoh filsuf Islam yaitu Al Ghazali. Ia yakin, bahwa biografi tentang tokoh itu
ada di perpustakaan ini. Ia menelurusi lorong biografi. Menurut dosen
pembimbingnya, Al Ghazali memiliki pemikiran yang istimewa tentang pendidikan. Ia
terus menelusuri hingga tiba di ujung lorong. Ujung lorong ini sudah bukan
lorong biografi, namun Ain menemukan sesuatu yang seketika menawan hatinya. Ia
menemukan sebuah buku dalam bahasa Inggris yang berjudul “Letter to Son-adapted
from Risalatu AL Walad : Al Ghazali” Belum sempat Ain mengambilnya, seorang
laki-laki dari belakang Ain mengambil buku tersebut. Sontak Ain terkejut dan
memaksa merebut “Buku ini milikku!” sergah Ain sambil menunjuk buku yang sudah
berada di tangan laki-laki itu. Ain lupa bahwa ia memekik dalam Bahasa
Indonesia.
“Bagaimana mungkin? Aku mengambilnya
lebih dulu. Kau hanya diam dari tadi.” Lelaki itu menjawab dengan nada sedikit
memprotes.
“You
are Indonesian, aren’t you? You speak in Indonesia. Hei, kumohon berikan
buku itu, sudah setengah jam lebih aku memeriksa hampir tiga lorong
perpustakaan ini, dan sekarang kau mengambil bukunya?”
“Kenapa kau menyergahku? Berhubung ini
ruang tengah kita tidak bisa bercengkrama disini. Ayo kita ke taman.” Lelaki tersebut
menggandeng lengan Ain begitu saja. Alih-alih menolak, Ain mengikutinya. “Nah,
ini tempat yang baik. Jadi aku akan mulai menjawab pertanyaanmu.” Ucap lelaki
itu sambil membenarkan posisi duduknya. Sekarang mereka berada di taman baca,
karena ini Finlandia pengunjung akan mendapat satu cangkir kopi gratis ketika
memasuki taman baca. “Pertama, bukan berarti orang yang bisa berbahasa
Indonesia adalah orang Indonesia.” Ia menyesap kopinya. “Kedua, aku
mengambilnya terlebih dahulu, sedangkan kau hanya diam. Bagaimana mungkin buku
ini milikmu? Hei Nona, sepertinya kau belum minum kopi hari ini.” Lelaki tersebut
menutup kalimatnya dengan tertawa dan kembali menyesap kopi panasnya.
Dia orang gila. Sudah pasti ia gila. Ain tersadar bahwa jika
ia menanggapi pasti akan panjang dan tentu akan menyita waktunya. “Jika kau
tidak ingin memberikannya, baiklah. Aku bisa cari yang lain. Dan sudah jelas
kau orang Indonesia. Aksen jawamu terlihat jelas dalam berbicaramu. Terima kasih.”
Ain beranjak meninggalkan lelaki itu dan cangkir kopinya. Namun, batal. Lelaki itu
kembali menggenggam tangan Ain dan memaksanya untuk duduk. “Apa-apaan ini?”
protes Ain.
“Aina Russelia. Mahasiswa pascasarjana
Helsinki University jurusan Philosophy of Education. Mahasiswa terbaik di bawah
bimbingan Dr. Kalevi, sedang menyusun tesisnya tentang studi filosofi
pendidikan ilmuwan timur tengah, asli dari Semarang, ...” belum selesai lelaki
tersebut melanjutkan kaimatnya Ain menyergah “Bagaimana mungkin, kau mengenal
begitu baik siapa aku? Kau membuatku merinding.”
Ain mengurungkan niatnya untuk
beranjak. Lelaki ini aneh. Bagaimana ia hampir tahu detail tentang Ain. “Wait, let me drink my coffee!” Ain
kembali duduk.
“For
sure, Nona!” lelaki itu mempersilahkan Ain duduk dan meminum kopinya.
“Oke,
I’ll let you tell me the truth about who you are, where you from, and
everything.” Kali ini Ain berkata dengan lebih tenang. Lelaki ini tentu ada
kaitannya dengan dirinya.
“Tidak ada apa-apa. Hanya saja kau
menarik. Namamu menggema di seluruh penjuru Helsinki University kau tahu. Baru saja
aku membaca profilmu, dan aku bertemu denganmu dalam keadaan kau mengaku buku
yang sudah kuambil terlebih dahulu. Ini cukup menarik. Akhirnya aku bertemu
anak Dr. Kalevi yang luar biasa. Bisa berbincang empat mata lagi.” Jelasnya.
“Apa katamu? Jadi kau hanya
mempermainkanku. Untung saja aku masih memaafkanmu, sekali lagi kau
menggangguku, lihat saja nanti.” Ain sungguh kesal. Ternyata bukan apa-apa. Jadi
benar, lelaki ini menyita waktunya. “Baiklah, aku pergi.”
Sebelum beranjak untuk kedua
kalinya, “Kau benar-benar melupakanku, Ain.” Kalimat laki-laki itu membuat Ain
membatalkan niatnya untuk kedua kalinya. Kenapa
ia memanggilku dengan Ain? Apa ia benar-benar mengenalku? Dan kesekian
kalinya Ain membatin.
“Kita harus segera keluar dari sini. It will be closed in five minutes.” Ain memutuskan untuk kembali ke
ruang tengah perpustakaan. Lelaki tadi mengikuti dengan sedikit bergumam,
entahlah apakah Ain mungkin mendengarkan atau tidak. Mereka harus segera
keluar. Jam kunjung perpustakaan selesai.
“Hietamaki,
I get nothing. I may come back tomorrow. Nӓhdӓӓn huomenna!” selesai mengenakan
mantel dan seperangkatnya, Ain segera meninggalkan Helsinki Central Library.
“Kiitos, Aina. The door will always open
for you!” Hietamaki melambaikan tangan kepada Ain. Lelaki tadi pun melakukan
hal yang sama pada Hietamaki. Mereka juga seperti sudah saling kenal. Lelaki
tadi segera mengikuti Ain.
Ain
sudah cukup jauh ketika lelaki itu keluar. Ia berlari dan mendapatkan lengan
Ain untuk kesekian kalinya. “Energimu sungguh besar sebagi seorang wanita. Kau
sudah cukup jauh.”
“Karena
aku bisa mati membeku jika aku tidak mempercepat langkahku.” Ain hampir lupa
soal laki-laki ini. “Kau tahu, -200C cukup untuk membunuhmu dalam
sekejap.” Mau tidak mau, Ain harus menanggapi lelaki itu. “Ikuti aku!” Kali ini
Ain berjalan lebih cepat, memimpin di
depan. Ia sudah berencana mampir ke kedai kopi Ingria. Finlandia adalah negara
pengonsumsi kopi terbesar di dunia. Lima gelas kopi per hari bagi setiap orang.
Tak heran jika banyak kedai kopi di sudut-sudut jalan. Apalagi di tepian kota.
Kedai kopi bisa jadi sangat besar dan banyak. Ingria dan Ain adalah teman.
Sejak pertama kali bertemu di perpustakaan mereka berteman, dan Ain akan mampir
ke kedai kopi Ingria sepulang dari perpustakaan. Selalu demikian.
“Ainaa! I’m sure it’s you. Before you get in, I
alredy know that’s you. As usual, get your sit and I’ll bring you Vanila Latte.”
Ingria sangat menyukai Aina. Begitupun sebaliknya. Aina hafal benar dengan cara
Ingria menyambut kedatangannya.
“It’s not like usual, Ingri. I bring someone.”
Tukas Aina.
“So, it should be someone special right?”
Ingria berhenti menuang kopi. Tidak seperti biasanya. Aina membawa seseorang.
Tapi siapa? Aina paling suka sendiri di sore hari seperti ini. Ingria mengantar
cangkir Latte Aina. “So, who is this?”
Ingria heran. “Moi! He’s a man! Oh,
anteeksi Aina. I will not disturb. Today you will have a coffe with this man.”
Ingria tahu benar, bahwa Aina datang kemari bukan untuk minum kopi bersamanya.
Namun laki-laki itu. “Oh, wait. Sir, what
do you like to drink?”
“Give me Moccha, please! Kiitos.” Lelaki
itu sudah duduk dengan baik di depan Aina.
“Let me drink my Latte first!” pinta
Aina.
“Minum
saja sebelum kau membeku.” Ia bercanda.
“What do you say? Ah, sudahlah abaikan
saja. Boleh aku langsung ke poinnya? Jadi, apa kita saling mengenal
sebelumnya?” sergah Aina.
“Kau
pernah mencintaiku.” Jawab lelaki itu. Ain tersedak. Jelas ia kaget. Jawaban
macam apa itu? Ain terbatuk-batuk, kesulitan mencari lap. “Kau tidak perlu
sekaget itu. Ini. Gunakan milikku.” Ia memberikan sapu tangannya kepada Ain. “Jika
kau benar-benar tidak mengingatku, minun
nimeni on Rahman. Ahmad Rahman.” Rahman terdiam sejenak, berusaha mengatur
kalimat yang akan ia keluarkan selanjutnya. Sementara Ain masih sibuk
membersihkan bekas kopi yang ada di bajunya. “Ain, kau benar-benar telah melupakanku
dengan baik. Tapi tak apa, sejauh ini yang aku tahu Amygdalamu masih berfungsi
dengan baik.”
“Kau
tahu, ini sungguh membingungkan. Kenapa aku pernah mencintaimu? Memangnya siapa
kamu? Dan kenapa... kenapa semua ini bisa seperti ini? Apa yang terjadi
denganku?” Rasa kaget Ain sudah mereda. Namun ia tak mengerti atas apa yang
telah terjadi.
“Sudahlah,
tak usah kau pikirkan. Yang penting aku sangat senang bisa melihatmu lagi. Dan
kau sudah menjadi sosok yang luar biasa.” Kata Rahman.
“Kenapa
kau berucap seolah kau dan aku mengenal dengan baik satu sama lain?” tanya Ain
dengan masih merasa bingung.
“Aku
sedang melaksanakan penelitian doktoralku di bawah bimbingan Prof. Radev di
Helsinki University, aku baru tiba tiga hari yang lalu. Dosenku yang
merekomendasikanku kesini. Paper Prof. Radev sangat sesuai untuk menunjang
data-data penelitianku. Kupikir ini menjadi kesempatan yang baik untuk bertemu
denganmu. Dan memang, tak susah menemukanmu.” Jelas Rahman panjang lebar.
“Kenapa
tak ada satu pun pertanyaanku yang kau jawab?” protes Ain. Karena Ain berpikir,
Rahman mulai menyebalkan. Bukan hanya Rahman, tapi ia juga sebal pada dirinya
sendiri yang tak mengetahui apapun.
“Tapi
bagusnya, kau menyimakku dengan baik. Terima kasih kopi dan waktunya Ain. Aku
akan menemuimu besok. Ini nomor telponku. Nӓhdӓӓn
huomenna!” Rahman meninggalkan secarik kertas dengan deretan angka di
atasnya. Kemudian ia bergegas meninggalkan Ain dan Lattenya yang sudah mulai
dingin. Ain yang benar-benar tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Rahman
melambaikan tangan kepada Ingri “Kiitos,
Ingria! Herkullinen-I mean the
Moccha. Nӓhdӓӓn huomenna!”
Setelah
menutup pintu untuk Rahman, Ingria segera menghampiri Ain. “So, who is the handsome man last time,
Ain? Don’t you let me know?” Ingria
duduk di depan Ain, menggantikan posisi Rahman.
“I also don’t understand what actually
happend here. He’s such a crazy people.” Ain mengacak rambutnya, berusaha
berpikir keras. Namun ia tak mendapatkan apapun. Nothing. Ia menyadari Rahman meninggalkan sapu tangannya. Ah, kenapa ia meninggalkan jejak? Bahkan ia
meninggalkanku nomor telponnya. “Do
you know, Ingri. I’ve just met him
last time in Central Library. But he
knows everything about me.”
“Perfectly secret admirer!!” Ingria
tertawa terbahak. “Finally, you meet
someone. Don’t tell me that you fall in love with him.” Goda Ingria kepada
Ain. “You both are perfect.”
Bahkan
Rahman berkata bahwa Ain pernah mencintainya. Ah, Ain semakin kalut. Ia
memutuskan segera kembali ke HOAS-student
apartement milik Helsinki University. Setelah cangkir lattenya bersih, ia
berpamitan kepada Ingria.
***
Halo, Ma! Apa mungkin aku mengenal seorang
pemuda yang bernama Rahman?
Cukup
satu tanda tanya saja membuat Mama Ain terdiam di ujung teleponnya. Ia berpikir
apakah ingatan Ain bisa pulih, setelah vonis dokter bahwa Amnesia Lakunar
sangat kecil kemungkinanya untuk ingatan itu kembali. Ketika SD itu terbakar,
dan Ain sedang mengajar waktu itu. Selesai evakuasi, Ain ditemukan tak sadar
diri. Sesegera mungkin Ain dibawa ke rumah sakit. Selesai pemeriksaan dokter
menyampaikan bahwa kondisi Ain tidak baik. Ia mengalami kekurangan oksigen yang
parah sehingga menyebabkan sistem limbiknya terganggu. Dan kala itu juga dokter
memvonis bahwa Ain menderita amnesia. Amnesia lakunar. Kehilangan memori secara
acak dan kemungkinan otak memiliki kelemahan untuk mencerna hal-hal baru di
kehidupan berikutnya.
Dua hari
berikutnya, Ain tersadar. Ia merasakan sakit yang sangat di kepalanya setelah
terbangun. Mama dan ayah Ain sudah sangat ketakutan. Apa kemungkinan yang akan
terjadi setelah Ain terbangun. Namun bangunnya Ain dari keadaan sebelumnya
adalah pemberian yang sangat besar. Ain mengingat semua keluarganya dengan
baik. Namun ia lupa dengan SD, anak didiknya, dan satu orang istimewa yang
lain-Rahman. Sehari sebelum kebakaran itu, Rahman sudah melamar Ain. Bahkan dua
minggu kemudian adalah tanggal pernikahan mereka. Berdasarkan keputusan kedua
keluarga, dan pengertian serta kesabaran Rahman, pernikahan itu tidak terjadi.
Rahman tahu, hal terbaik adalah membiarkan Ain pulih, menjalani terapi dan
semua akan kembali. Rahman memutuskan untuk melanjutkan studinya ke jenjang
doktoral di Jogja. Tentu sebuah keputusan yang berat untuk meninggalkan
Semarang. Namun ia percaya ini yang terbaik.
Sementara
setelah Ain pulih, ia tidak perlu terapi. Karena sistem limbik yang terganggu,
justru memberikan efek lain pada Ain. Hal ini menyokong Amygdala berfungsi
dengan sangat baik. Otak tidak mengalami kesulitan mencerna hal baru namun
sebaliknya. Ini sungguh hikmah yang luar biasa. Ain memperoleh beasiswa ke
Finlandia setahun kemudian untuk melanjutkan studi masternya.
Mama Ain
tak memberi jawaban yang memuaskan. Ain semakin putus asa. Siapa pemuda bernama Rahman ini? Ain masih berpikir keras.
***
“Temui aku di kantin ruangan Dr.
Kalevi jika urusanmu belum selesai. Dalam lima menit kau tidak datang, aku
pergi.” Pesan singkat Ain kepada Rahman.
Sejurus
kemudian, Rahman sudah menempati salah satu kursi di kantin. Bahkan ia datang
lebih awal. Ia melambai kepada Ain ketika ia memasuki pintu kantin. “Bukan aku
yang belum selesai Ain, tapi kau yang ingin menemuiku.” Rahman membawakan
secangkir Latte untuk Ain.
“Apa??
Kenapa kau selalu membuatku merasa bodoh?” Protes Ain.
“Di
antara kita memang belum pernah selesai Ain.” Rahman membuka tasnya. Ia
mengeluarkan beberapa lembar foto. “Apa kau tahu foto apa ini?”
Ain
memeriksa foto-foto itu. “Ini bangunan sekolah dasar, bukan?” ia melanjutkan
untuk memeriksa foto yang lain. “Lantas apa hubungannya denganku?”
“Kau
benar-benar tidak mengingatnya Ain? Kau guru kesayangan mereka Ain. Lanjutkan
hingga foto terakhir.” Tuntun Rahman pelan.
“Eh,
kenapa bisa ada aku di foto ini?” tanya Ain semakin bingung.
“Aku
tidak ingin menyinggung hal ini, tapi aku harus. Apa kau masih ingat insiden
terakhir yang kau alami?” Rahman nampak serius.
Ain
berpikir keras. Apakah mungkin insiden
sebelum aku terbangun di rumah sakit?
“Tenang
Ain. Kau tidak perlu berpikir keras. Yang penting semua yang terjadi memberi
hikmah yang besar untuk kehidupan kita sekarang ini. Selama amygdalamu masih
berfungsi dengan baik, tak akan merubah apapun yang harusnya terjadi
sebelumnya.” Rahman semakin membingungkan.
“Tunggu
sebentar. Kenapa dari kemarin kau menyebut kata yang asing bagiku, apa itu
Amygdala?” Ain bertanya.
“Anak
didik Dr. Kalevi tidak tahu amygdala? Ia adalah pusat kendali rasa dan emosi
yang ada di otakmu Ain.” Jelas Rahman.
“Oh,
demikian. Sepertinya aku harus mengenalmu lebih jauh, Rahman!” ucap Ain. Giliran
Rahman tersedak. Sekarang Ain tahu, amygdalanya benar-benar berfungsi masih
dengan sangat baik. Amygdala-hal ini yang membuat Ain pada akhirnya mengirim
pesan singkat ke pada Rahman tadi.
Ain menatap Rahman dengan senyum
itu. Senyum yang Rahman tunggu setiap hari bergulir. Senyum yang membuat dua
lensung di pipi Ain semakin terlihat jelas, tentu membuat Ain semakin cantik. Dan
mata itu, mata yang masih tetap teduh seperti dulu. Tak ada yang berubah dari
Ain. Pun demikian pada Rahman. Tak ada yang berubah dari Rahman. Ia tetap
mencintai Ain. Tak perlu Ain, kau sudah
mengenalku dengan baik. Dengan sangat baik. Rakastan sinua.
***
Finally, the story is done. Kritik, saran, komen, tanggapan is free di kolom bawah yaa :) Thanks for reading. Semoga bermanfaat. Berikut daftar istilah yang digunakan dalam cerita. Beberapa istilah dalam bahasa Finlandia dan bahasa latin
1. Russelia : Kata kedua pada nama Ain berasal dari bahasa latin Russelia, adalah nama genus dari bunga air mancur
2. Rakastan sinua : aku mencintaimu
3. Nӓhdӓӓn huomenna : sampai jumpa
4. Kiitos : terima kasih
5. Anteeksi : permisi, maaf
6. Herkullinen : lezat, nikmat
7. minun nimeni on : perkenalkan, namaku..
8. Hyvaa payvaa : selamat siang
9. Hyvaa paivanjatkoa : semoga harimu menyenangkan
10. Moi : Hai, halo
Cerpen ini diterbitkan dalam antologi cerpen Seribu Wajah di Balik Lensa oleh Penerbit Jendela Sastra Indonesia
hmmmm naja lanjutkan segera yaaaa
ReplyDelete