Tentang Kamu

Masih ada rasa yang tertinggal. Matanya tak bisa berkhianat, walaupun ia dingin sedingin kristal, tapi matanya masih tetap hangat. Sehangat belaian rindunya tempo hari. Mata. Iya, mata. Sumber dari segala rasa. Kau, apa kabar? Aku tak pernah menganggap sesuatu di antara kita selesai. Kupikir tak pernah selesai. Kau dengan pandainya menggantung rasamu. Sedang aku? Rasa itu terseret-seret. Berserakan. Kau tahu, dengan gigih aku berusaha membunuh setiap butiran rasa yang mencuat. Menikam mereka setiap kali menganga. Tapi satu hal, sakit. Apa sesakit ini? Apakah sesakit ini terkahir kali kau berusaha menikam rasa rasa itu? Bagaimana rasa sakitnya ketika kau menyadari kehadiranku, tapi kau menihilkanku? Bagaimana rasanya menahan segudang keinginanmu untuk menyapaku? Ah, sakit sekali. Tak sanggup kulukiskan bait bait elegi itu ataupun bait yang lain.
Penerimaanku atas hadirmu di depan pintuku tak pernah sederhana. Namun, dengan tulus kau ajarkan bagaimana sebuah penerimaan itu. Kemudian aku belajar. Perlahan tapi pasti, satu sisi aku menerima, tapi belum yang lain. Hingga keputusan akhir aku menerim. Kau sudah telalu lama berdiri di depan pintuku, sekadar mengetuk, memangut rasa, atau kemudian menyapaku perlahan lahan. Kemudian pintuku terbuka lebar. Hingga kau melihat lorong pintuku terbuka lebar untukmu, daun pintunya tak lagi mengatup ngatup, tanda ia memberi restu. Kemudian kau masuk. Masuk tak sekadar masuk. Kau memberi warna. Hai, kau bahkan melukis di atas kanvasku, kau tumpahkan berbagai warna. Warna-warni. Kemudian tiba tiba ada sekaleng warna hitam kau tumpahkan di atasnya. Lalu, aku bertanya-tanya? Kenapa kanvasku seperti ini? Sejurus kemudian, kau datang dan lagi melukis di atas kanvasku. Dengan berbagai macam warna yang lain, kau tutupi kelam itu. Beberapa waktu kemudian kau berhenti melukisnya. Aku bertanya. Tapi kau tak menjawab. Tak ada jawaban hingga kanvasku hanya diam menganga. Semua beralih menjadi abu abu. Lorongku kosong. Daun pintuku mulai terkatup katup. Mereka pun merindu. Merindu ketuk tangan dan langkah kakimu. Tapi nihil. Suatu ketika kau datang, mereka sumringah dan berkata "akhirnya". Tapi sejenak mereka termenung oleh kalimatmu "Berhenti membukakan pintumu kepadaku. Aku tak layak lagi. Dan kau tak perlu menerimaku lagi. Serta jangan pernah nantikan aku mengetuk pintumu." Mereka tergugu. Kaku. Dan sekarang layu. Kau seolah menyiramkan H2SO4 kepada taman depan rumahku. Kau hancurkan pintuku yang selalu bersemayam untukmu. Sebelum aku sempat bertanya kenapa aku harus berhenti menunggumu mengetuk pintuku, sebelum aku sempat berkata betapa rindu ini dalam menyayat hati, atau betapa seulas senyummu dinantikan oleh bunga-bunga di taman depan rumahku, kau sudah menjauh. Tersisa bayanganmu dan entah berapa lama lagi bayangmu akan menghilang. Entah. Jika kau dulu seperti air, sekarang kau adalah api yang berkobar nyala. Entah.
Kau hanya lupa mengajarkanku bagaimana cara mengikhlaskan. Kau membiarkan aku terkulai lemah oleh tajam pisau kata katamu. Dan terbenam dalam balutan luka yang perih. Kau tak lebih adalah seorang bajingan. Kau hanya keparat yang mungkin mati rasa. Kau antagonis yang nista. Sudahlah. Entah. Kuharap kau tak segera sembuh sebelum kau menerangkan. Kau tak akan sembuh sebelum kau memberi alasan. Kau tak akan benar-benar bisa melupakanku. Tapi, sejenak aku berpikir. Sama hinanya aku dengan dirimu jika demikian. Sehingga aku memutuskan menepis segenap rasa yang itu mengarah kepadamu. Membunuh setiap rindu yang itu untukmu. Kemudian aku lebih memilih menikam diriku sendiri.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Ilmu di Setiap Langkah Kaki

Senandung Elegi